Jumat, 13 September 2013

Etos Kerja Dalam Islam (PENDAIS)

Pendahuluan
Agama Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai tuntunan dan pegangan bagi kaum muslimin mempunyai fungsi tidak hanya mengatur dalam segi ibadah saja melainkan juga mengatur umat dalam memberikan tuntutan dalam masalah yang berkenaan dengan kerja.
Rasulullah SAW bersabda: “bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya, dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati besok.” Dalam ungkapan lain dikatakan juga, “Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah, Memikul kayu lebih mulia dari pada mengemis, Mukmin yang kuat lebih baik dari pada mukslim yang lemah. Allah menyukai mukmin yang kuat bekerja.” Nyatanya kita kebanyakan bersikap dan bertingkah laku justru berlawanan dengan ungkapan-ungkapan tadi.
Padahal dalam situasi globalisasi saat ini, kita dituntut untuk menunjukkan etos kerja yang tidak hanya rajin, gigih, setia, akan tetapi senantiasa menyeimbangkan dengan nilai-nilai Islami yang tentunya tidak boleh melampaui rel-rel yang telah ditetapkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Hakekat Etos Kerja dalam Islam
Suatu hari Rasulullah SAW. berjumpa dengan Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari. Ketika itu Rasul melihat tangan Sa’ad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari. “Kenapa tanganmu?” tanya Rasul kepada Sa’ad. “Wahai Rasullullah,” jawab Sa’ad, “Tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku”. Seketika itu beliau mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya seraya berkata, “Inilah tangan yang tidak akan pernah tersentuh api neraka”.

 Pengertian Etos Kerja
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etos adalah pandangan hidup yangg khas dari suatu golongan sosial. Jadi, pengertian Etos Kerja adalah semangat kerja yg menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok.
Etos
berasal dari bahasa Yunani yang berarti sesuatu yang diyakini, cara berbuat, sikap serta persepsi terhadap nilai bekerja. Sedangkan Etos Kerja Muslim dapat didefinisikan sebagai cara pandang yang diyakini seorang muslim bahwa bekerja tidak hanya bertujuan memuliakan diri, tetapi juga sebagai suatu manifestasi dari amal sholeh dan mempunyai nilai ibadah yang luhur. 

Pengertian Kerja
Kerja dalam pengertian luas adalah semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi maupun non-materi, intelektual atau fisik maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniawian atau keakhiratan. Kamus besar bahasa Indonesia susunan WJS Poerdarminta mengemukakan bahwa kerja adalah perbuatan melakukan sesuatu. Pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah.
Perlu kiranya dijelaskan disini bahwa kerja mempunyai etika yang harus selalu diikut sertakan didalamnya, oleh karenanya kerja merupakan bukti adanya iman dan barometer bagi pahala dan siksa. Hendaknya setiap pekerjaan disampung mempunyai tujuan akhir berupa upah atau imbalan, namun harus mempunyai tujuan utama, yaitu memperoleh keridhaan Allah SWT. Prinsip inilah yang harus dipegang teguh oleh umat Islam sehingga hasil pekerjaan mereka bermutu dan monumental sepanjang zaman.
 Seringkali umat Islam terjebak dengan istilah Tawakkal dan Qanaah. Tawakkal di artikan menyerahkan sepenuhnya urusan kepada Allah termasuk urusan perut dan rejeki, begitu pula Qanaah yang hanya di artikan sempit merasa ridha dan bersyukur dengan rejeki yang ada sekarang. Padahal konsep sejati dari Islam adalah mendahulukan konsep bekerja baru bertawakkal kepada sang pencipta. Dan qanaah tidak menjadikan muslim cepat berpuas dengan rejeki yang di beri, bukankah Allah itu maha kaya dan tidak membatasi kekayaaan kita sepanjang kekayaan yang di ridhai Allah.
Belum lagi dalam rukun islam ada perintah zakat dan ibadah haji yang hanya bisa di lakukan bila harta mencukupi. Tentunya harta di dapatkan dengan kerja, lagi-lagi tersirat kita di ajarkan untuk mencari harta dunia. Jadi salah besar pandangan yang menilai islam dan umatnya hanya untuk orang-orang malas dan melarat. 
Sesungguhnya dikotomi antara "kerja" dengan "belajar" tidak perlu terjadi. Karena, apabila kita menghayati ikrar kita secara mendalam pada proposisi "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in" dalam surat Al-Fatihah, maka dunia kehidupan kaum Muslimin bernuansa ibadah yang sangat kental. Dalam firman-Nya yang lain, Allah mengatakan, "Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan untuk beribadah," (QS Adz-Dzariyat, 51 : 56). Sehingga, jelas-jelas tidak ada pemisahan antara yang sakral dengan yang profan, yang duniawi dengan yang ukhrawi.
Ketika mengomentari ayat, "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad (perjanjian) itu" (QS Al-Ma'idah, 5 :1), Raghib Isfahani, sebagaimana dikutip Seyyed Hossein Nasr (1994) mengatakan bahwa perjanjian-perjanjian itu meliputi perjanjian-perjanjian antara Tuhan dan manusia, yakni kewajiban-kewajiban manusia kepada Tuhan; [perjanjian antara manusia dan dirinya sendiri; dan [perjanjian] antara individu dan sesamanya.
Dengan demikian, perjanjian (uqud) yang dirujuk pada ayat tersebut berkisar antara pelaksanaan shalat sehari-hari sampai menjual barang dagangan di bazaar, dari sembah sujud hingga kerja mencari penghidupan.
Berangkat dari pandangan dunia tradisional tersebut yang tidak mendikotomikan antara yang sakral dan yang profan, maka etos kerja kaum Muslim selayaknya memperhatikan kualitas pekerjaannya. Ini artinya, dalam bekerja karakteristik spiritual tetap terjaga dan terpelihara yakni pekerjaan itu dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Tanggung jawab terhadap kerja berarti kesiapan untuk bertanggung jawab di hadapan Yang Mutlak karena kerja adalah saksi bagi semua tindakan manusia. Dalam ushuluddin disebut-sebut perihal konsep ma'ad atau qiyamah yang bila diterjemahkan dalam keseharian akan sangat mendukung sekali terhadap profesionalisme dalam bekerja. Di sini konsep ma'ad atau qiyamah bukanlah suatu konsep di langit-langit Platonik melainkan sesuatu yang hidup, membumi.
Penghayatan yang mendalam terhadap prinsip ma'ad akan berimplikasi positif dan konstruktif terhadap perkembangan kepribadian kaum Muslim. Setidaknya dengan menghayati prinsip tersebut, pemuda Muslim tidak mengenal istilah pengangguran.
Konon, praktik shalat wajib di kalangan Syi'ah yang mencakup shalat fajr, shalat siang hari (Zhuhur dan 'Ashar), dan shalat malam hari (Maghrib dan 'Isya), merupakan refleksi etos kerja mereka yang begitu tinggi dan manifestasi produktivitas dalam berkarya. Artinya, bila kaum Syi'ah selesai melaksanakan shalat siang hari, maka setelah selesai shalat dan zikir, mereka akan kembali bekerja dengan semangat yang tetap terjaga. Bukan meneruskannya dengan aktivitas yang kurang produktif dan tidak bermanfaat.
"Kerja berkaitan erat dengan doa dan hidayah bagi semua masyarakat tradisional dan kaitan ini dirasakan dan diaksentuasikan dalam Islam," tulis Nasr (1994). Dengan mengamati lafaz adzan Syi'ah, dengan formulasi hayya 'ala al-shalah, hayya 'ala al-falah, dan hayya 'ala khair al-'amal, Nasr menyimpulkan bahwa shalat dan kerja memiliki keterkaitan yang prinsipal. "Di sana hubungan antara shalat, kerja, dan amal saleh selalu ditekankan," lanjutnya.
Perspektif Islam yang padu, menolak membedakan antara yang sakral dan yang profan, yang ukhrawi dan yang duniawi, yang religius dan yang sekular atau, secara lebih spesifik, antara shalat dan kerja. Implikasi praktisnya adalah bahwa sebagaimana kita mencoba khusyu dalam shalat, maka begitu pula dalam bekerja kita mencoba untuk meng-khusyu'-kan diri. Dalam bahasa bisnisnya, berusaha bersikap lebih profesional.
Lebih jauh, sebagaimana ketakutan pada Tuhan dan tanggung jawab kepada-Nya dalam ekspresi shalat kita, maka demikian pula kita dalam pekerjaan kita. Karena, "Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu." [ ]
Kesimpulan
Ethos kerja seorang muslim ialah semangat menapaki jalan lurus, mengharapkan ridha Allah SWT.
Etika kerja dalam Islam yang perlu diperhatikan adalah 
(1) Adanya keterkaitan individu terhadap Allah sehingga menuntut individu untuk bersikap cermat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik dengan relasinya. 
(2) Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan. 
(3) tidak memaksakan seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja, semua harus dipekerjakan secara professional dan wajar. 
(4) tidak melakukan pekerjaan yang mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan minuman keras, riba dan hal-hal lain yang



0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes